Hadirnya Seni Jaranan Turangga wengker Desa coper jetis ponorogo diharapkan dapat menjadi penampung generasi muda yang berjiwa seni dan peduli kelestarian seni budaya,esenian jaranan, dari masa ke masa
mengalami perpembangan pasang surut. Saat ini kesenian jaranan telah
menyebar dan layah sebagai hiburan berbagai keperluan yaitu dari
kegiatan ‘bersih desa’ hingga untuk hajatan khitanan maupun manrten. Kalau ada pertanyaan, apakah kesenian jaranan seperti TURANGGA WENGKER dan lainnya adalah jenis kesenian baru dan berkembang sebagai kesenian
jenis tontonan yang mengandung unsur magis ?apakah kesenian ini tlah lama adanya mari kita simak berikut ini...????
Raja Airlangga memiliki seorang putri
yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang Kediri yang sangat
cantik, sehingga tak heran saat itu banyak sekali yang terpikat dan
melamar, maka Dewi Sangga Langit mengadakan sayembara.
Para
pelamar yang ingin menjadikan Dewi Sangga Langit (Songgo Langit)
semuanya sakti dan memiliki kekuatan olah kanuragan ataupun ilmu yang
tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin
menjadi petapa saja.
Prabu
Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau
menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian
yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
Diantara
yang ‘kepuncut’ atau tertarik dan ingin menikahi Dewi Songgo Langit
adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari
Blitar, Kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit
yang berasal dari Blitar.
Untuk
dapat mempersunting Dewi, mereka berangkat menuju Kediri untuk
mengikuti sayembara dan berharap akan menjadi pemenangnya. Mereka-pun
bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di
kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau
Pujangganom.
Dalam peperangan
itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo
Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom.
Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati
kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo
Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Singkatnya,
Dewi Songgo Langit dalam iringan pengantin meminta diiringi oleh
jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi tetabuhan alat
musik yang berasal dari bambu dan besi.
Tentang
iringan musik jaranan sekarang, alat dari besi dan dari bambu tetap
digunakan, yaitu kenong dan terompet. Sedang jika di napak tilas
perjalanan jaranan, lokasi jperjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo
Langit dengan Pujangganom itu.
Yang
saat itu Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke
Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia
marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu
dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
Akhirnya
sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia
keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah
selomangkleng.
Karena Dewi
Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau
menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua
adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga
Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi
Sangga Langit merubah nama tempat itu menjadi Ponorogo
Menelisik
sejarah perjalanan tersebut, nyatalah bahwa seni jaranan usianya lebih
tua dibanding dengan kesenian Reog Ponororo yang sejarahnya juga tak
dapat dipisahkan dengan Kediri.
Sejak
saat itu, untuk mengenang perjalanan saat boyongan ke Wengker, Dewi
Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan
itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. maka
secara turun temurun dipertahankan.
Jadi
keberadaan kesenian jaranan adalah upaya leluhur mengenang sayembara
yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana
Sewandono atau Pujangga Anom
Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua
kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni
jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.
Karena
menilik bagaimana sesungguhnya seni jaranan ada, maka perlu
dilestarikan dan dipertahankan, jangan sampai ada yang mengaku bahwa
seni jaranan milik para penjiplak, khususnya dari luar negeri seperti
yang dialami Seni Reog Ponorogo yang di klaim milik penjiplak.
Seni jaranan, sebuah pentuk kesenian tontonan,
Seni jaranan thik, sebuah pentuk kesenian tontonan, dalam aksi pertunjukkan,Setelah beberapa saat, mendadak penari kesurupan dan mulai seperti menelan daun pisang, kembang, dan gabah,
Dalam
perkembanganya kesenian jaranan kita akui telah mengalami pasang surut.
Hal ini disebabkan kondisi social masyarakat yang sudah berubah dalam
memaknai dan mengambangkan jaranan. dari tahun-ke tahun jaranan mulai
berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi tontonan dan yang paling
menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik simpatisan dan untuk
pengembangan pariwisata.
Naga Baru Klinting.Syahdan Demang Ngebel, Warok Suro Joyo beserta punggawanya sedang
menggelar pesta besar. Mereka menikmati makanan hasil dari berburu para
prajurit dan punggawanya di hutan. Selesai pesta, beberapa babak
kemudian, di atas panggung muncul sosok bertopeng kepala naga (barong).
Berbalut kain hitam, sosok ini menari-nari penuh liukan tak terduga.
Dikisahkan sang naga yang merupakan penjelmaan sukma babi, mengamuk dan
memporak-porandakan seluruh kademangan Ngebel. Banjir bandang pun
menenggelamkan seluruh penduduk negeri. Tak ada yang bertahan kecuali
Rondo Dadapan, yang dalam cerita itu tidak larut dalam pesta besar.Kehadiran gamelan yang mirip reyog dan juga kehadiran tokoh yang
menyerupai warok dengan pakaian serba hitam menambah penampilan jaranan
thik ini lebih unik. Menghadirkannya sebagai yang juga “khas Ponorogo”.
seniman thik nampaknya amat menyadari pentingnya kreatifitas
performance di atas panggung. Seperti terekam di bagian awal catatan
ini, pementasan jaranan thik dengan paduan legenda Naga Baru Klinthing
yang merujuk pada sejarah Telaga Ngebel semakin menegaskan bahwa jaranan
thik sebenarnya tidaklah asing bagi orang Ponorogo. Apalagi unsur warok
yang menjadi bagian dari inti pertunjukan, secara langsung mendekatkan
jaranan thik dengan ikon keponorogoan yang telah terlanjur
diidentifikasikan dengan kereyogan. Di atas panggung jaranan thik tidak
lagi menampilkan imajinasi tentang dunia luar yang jauh di sana.
Melainkan sesuatu yang intim, akrab, dan yang sudah lama dikenal.
Jaranan thik, seperti halnya dilakukan reyog, kini tengah membangun
cerita tentang keaslian identitas dan situs sejarahnya di Ponorogo.
Keduanya tidak harus dan memang tidak perlu dipertentangkan, lantaran
jaranan thik memiliki situs sejarahnya sendiri, begitu pula reyog