JARANAN "THIK" COPER JETIS PONOROGO

Posted by www.bandrek ponorogo.com On 00.04


Siang itu, suara gamelan yang rancak, dinamis dan nyaring itu mulai menghentak. Serentak enam orang para penari berwajah sangar, berkumis dan berjenggot lebat dengan pakaian serba hitam memasuki arena panggung. Gerakannya kasar, tangan mengepal dan kaki mengentak-ngentak sambil sesekali posisi saling berhadapan.
  Naga Baru Klinting.sosok bertopeng kepala naga (barong). Berbalut kain hitam, sosok ini menari-nari penuh liukan tak terduga. Dikisahkan sang naga yang merupakan penjelmaan sukma babi, mengamuk dan memporak-porandakan seluruh kademangan Ngebel. Banjir bandang pun menenggelamkan seluruh penduduk negeri. Tak ada yang bertahan kecuali Rondo Dadapan, yang dalam cerita itu tidak larut dalam pesta besar.
  Seseorang yang sejak awal berdiri menyaksikan pertunjukan tiba" Tubuhnya terlihat kaku dan terjatuh di lantai. Namun sejurus kemudian ia pun menari-nari atraktif. Matanya melotot dan meloncat-loncat menakutkan. Orang-orang sering menyebutnya sebagai ndadi atau kesurupan yang menjadi ciri khas kesenian jaranan.
 Ya, siang itu jaranan thik Turonggo wengker atau yang sering disebut oleh komunitasnya sendiri sebagai “reyog thik”, sedang pentas. Penonton dibuat terhibur. Kadang mereka terpingkal-pingkal lantaran ceritanya berbumbui dialog dan tarian lucu. Kadang pula dibuat tercengang oleh atraksi-atraksi nekat. Mereka menikmati bukan saja ritual ndadi yang khas dalam setiap jaranan, tapi juga tari-tarian baru yang mengisahkan legenda Telaga Ngebel yang membedakannya dengan jaranan-jaranan di daerah lain, seperti sentherewe, jaranan, jaran kipang dan lainnya. Kehadiran gamelan yang mirip reyog dan juga kehadiran tokoh yang menyerupai warok dengan pakaian serba hitam menambah penampilan jaranan thik ini lebih unik. Menghadirkannya sebagai yang juga “khas Ponorogo”.
  Penyebaran jaranan di berbagai daerah lantaran peran Raden Mas Broto yang membawa kesenian ini ke bagian timur gunung Wilis seperti Tulungagung, Trenggalek dan Kediri. Mas Broto adalah pemuda Trenggalek yang diperebutkan oleh dua orang warok Ponorogo bernama Suro Menggolo dan Suro Gentho untuk dijadikan menantu. Sebuah cerita yang juga dijadikan pijakan komunitas jaranan thik kalau lebih tua ketimbang reyog. Karena reyog merujukkan dirinya pada sejarah pertarungan Batoro Katong dan Ki Ageng Tutu yang datang lebih belakangan




 

TUROGGO WENGKER

Posted by www.bandrek ponorogo.com On 00.01

JARANAN "THIK" Turangga wengker,COPER JETIS PONOROGO

Posted by www.bandrek ponorogo.com On 00.01

Hadirnya Seni Jaranan Turangga wengker Desa coper  jetis ponorogo diharapkan dapat menjadi penampung generasi muda yang berjiwa seni dan peduli kelestarian seni budaya,esenian jaranan, dari masa ke masa mengalami perpembangan pasang surut. Saat ini kesenian jaranan telah menyebar dan layah sebagai hiburan berbagai keperluan yaitu dari kegiatan ‘bersih desa’ hingga untuk hajatan khitanan maupun manrten. Kalau ada pertanyaan, apakah kesenian jaranan seperti TURANGGA WENGKER dan lainnya adalah jenis kesenian baru dan berkembang sebagai kesenian jenis tontonan yang mengandung unsur magis ?apakah kesenian ini tlah lama adanya mari kita simak berikut ini...????
 Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang Kediri yang sangat cantik, sehingga tak heran saat itu banyak sekali yang terpikat dan melamar, maka Dewi Sangga Langit mengadakan sayembara.
 Para pelamar yang ingin menjadikan Dewi Sangga Langit (Songgo Langit) semuanya sakti dan memiliki kekuatan olah kanuragan ataupun ilmu yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. 
 Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
 Diantara yang ‘kepuncut’ atau tertarik dan ingin menikahi Dewi Songgo Langit adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, Kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. 
 Untuk dapat mempersunting Dewi, mereka berangkat menuju Kediri untuk mengikuti sayembara dan berharap akan menjadi pemenangnya. Mereka-pun bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. 
 Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
 Singkatnya, Dewi Songgo Langit dalam iringan pengantin meminta diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi tetabuhan  alat musik yang berasal dari bambu dan besi. 
 Tentang iringan musik jaranan sekarang, alat dari besi dan dari bambu tetap digunakan, yaitu kenong dan terompet.  Sedang jika di napak tilas perjalanan jaranan, lokasi jperjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu.
 Yang saat itu Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
 Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
 Karena Dewi Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit merubah nama tempat itu menjadi Ponorogo
 Menelisik sejarah perjalanan tersebut, nyatalah bahwa seni jaranan usianya lebih tua dibanding dengan kesenian Reog Ponororo yang sejarahnya juga tak dapat dipisahkan dengan Kediri.
 Sejak saat itu, untuk mengenang perjalanan saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. maka secara turun temurun dipertahankan.
 Jadi keberadaan kesenian jaranan adalah upaya leluhur mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom 
 Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.
 Karena menilik bagaimana sesungguhnya seni jaranan ada, maka perlu dilestarikan dan dipertahankan, jangan sampai ada yang mengaku bahwa seni jaranan milik para penjiplak, khususnya dari luar negeri seperti yang dialami Seni Reog Ponorogo yang di klaim milik penjiplak.
 Seni jaranan, sebuah pentuk kesenian tontonan,
  Seni jaranan thik, sebuah pentuk kesenian tontonan, dalam aksi pertunjukkan,Setelah beberapa saat, mendadak penari kesurupan dan mulai seperti menelan daun pisang, kembang, dan gabah,
 Dalam perkembanganya kesenian jaranan kita akui telah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi social masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari tahun-ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi tontonan dan yang paling menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik simpatisan dan untuk pengembangan pariwisata.

 Naga Baru Klinting.Syahdan Demang Ngebel, Warok Suro Joyo beserta punggawanya sedang menggelar pesta besar. Mereka menikmati makanan hasil dari berburu para prajurit dan punggawanya di hutan. Selesai pesta, beberapa babak kemudian, di atas panggung muncul sosok bertopeng kepala naga (barong). Berbalut kain hitam, sosok ini menari-nari penuh liukan tak terduga. Dikisahkan sang naga yang merupakan penjelmaan sukma babi, mengamuk dan memporak-porandakan seluruh kademangan Ngebel. Banjir bandang pun menenggelamkan seluruh penduduk negeri. Tak ada yang bertahan kecuali Rondo Dadapan, yang dalam cerita itu tidak larut dalam pesta besar.Kehadiran gamelan yang mirip reyog dan juga kehadiran tokoh yang menyerupai warok dengan pakaian serba hitam menambah penampilan jaranan thik ini lebih unik. Menghadirkannya sebagai yang juga “khas Ponorogo”.





 seniman thik nampaknya amat menyadari pentingnya kreatifitas performance di atas panggung. Seperti terekam di bagian awal catatan ini, pementasan jaranan thik dengan paduan legenda Naga Baru Klinthing yang merujuk pada sejarah Telaga Ngebel semakin menegaskan bahwa jaranan thik sebenarnya tidaklah asing bagi orang Ponorogo. Apalagi unsur warok yang menjadi bagian dari inti pertunjukan, secara langsung mendekatkan jaranan thik dengan ikon keponorogoan yang telah terlanjur diidentifikasikan dengan kereyogan. Di atas panggung jaranan thik tidak lagi menampilkan imajinasi tentang dunia luar yang jauh di sana. Melainkan sesuatu yang intim, akrab, dan yang sudah lama dikenal. Jaranan thik, seperti halnya dilakukan reyog, kini tengah membangun cerita tentang keaslian identitas dan situs sejarahnya di Ponorogo. Keduanya tidak harus dan memang tidak perlu dipertentangkan, lantaran jaranan thik memiliki situs sejarahnya sendiri, begitu pula reyog